Menginovasi-kan isi perut (Rumen) Kambing Dengan Limbah Sekitar untuk pupuk dan pestisida organik, Inovasi Gentong Organik Aktualisasi Petani Maju (Gentho Si Tama) Kabupaten Trenggalek Raih Top 30 Kompetesi Inovasi Publik (Kovablik) Jawa Timur.
Penghargaan untuk Kabupaten Trenggalek itu diberikan langsung oleh Menteri PAN RB, M. Azwar Anas kepada Wakil Bupati Trenggalek, Syah Muhamad Natanegara di Alun-alun Kireksogati Kabupaten Madiun, Rabu (7/12). Turut mendampingi Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Meraih Top 30, karena Gentho Si Tama ini dianggap menjawab permasalahan petani selama ini (pupuk dan pestisida mahal). Dengan produksi sendiri, sarana produksi menjadi petani menjadi murah. Selain itu, karena organik diyakini kesuburan tanah membaik dan hasil produksi menjadi lebih sehat.
Menerima penghargaan ini, Wakil Bupati Trenggalek, Syah Muhamad Natanegara menyampaikan "kita terima kasih kepada Dinas Pertanian dan Pangan. Inovasi yang dibuat mendapatkan penghargaan Top 30 Kompetesi Inovasi Publik (Kovablik) Jawa Timur," ungkapnya.
"Semoga ini bisa dipertahankan dan di ikuti oleh Organisasi Perangkat Daerah yang lain. Inovasi-inovasi yang dilakukan agar bisa diakui dan membawa manfaat khususnya untuk masyarakat Trenggalek," harap Wakil Bupati Trenggalek.
Imam Nurhadi salah satu Kepala Bidang di Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Trenggalek menerangkan "Gentho Si Tama ini merupakan inovasi fermentasi rumen kambing yang tujuannya menjawab harapan petani terhadap asa petani atas pupuk dan pestisida yang semakin mahal. Selain itu juga bertujuan mengembalikan kesuburan tanah," terangnya.
Kita memanfaatkan rumen kambing (isi perut kambing yang kita tempatkan dalam wadah gentong untuk kita fermentasi dengan limbah disekitar kita utamanya limbah organik menjadi Pupuk Organik Cair (POC).
Menurutnya, pada perinsipnya penggunaan POC dari rumen kambing ini ditujukan untuk memenuhi mikro organisme tanah. "Arahnya kita berbenah tanah dulu. Karena kondisi tanah saat ini akibat banyaknya pestisida yang masuk, kemudian juga pupuk an organik mengakibatkan mikroorganisme tanah berkurang sehingga sifat biologi tanah menjadi kurang bagus" ucap Imam.
Sifat biologi tanah, sambung Imam "berpengaruh pada tingkat kesuburan. Dengan inovasi Gentho Si Tama ini mikroorganisme menjadi baik dan sifat fisika tanah menjadi meningkat. Istilahnya fisik biologi tanah diperbaiki, sehingga tanah menjadi subur," lanjutnya.
Tahun 2021 inovasi ini telah diterapkan di 40 titik (kelompok) yang tersebar dan hasilnya dapat dirasakan oleh petani. Perkembangan yang baik di tahun 2021, tahun ini jangkauan inovasi ini diperluas. Selain itu, juga mulai menyasar pada pupuk organik padat, tegas Imam.
Hermawan Jatmiko, Penyuluh Pertanian Desa Wonanti Kecamatan Gandusari menambahkan, "ending dari Gentho Si Tama ini sebenarnya petani bisa membuat pupuk dan pestisida organik sendiri di rumah masing-masing. Sedangkan sementara ini masih di tingkat kelompok tani dan Gapoktan," ucapnya.
Cara mudah, menggunakan potensi di sekitar. "Terutama limbah dari perutnya kambing yang biasa kita namakan rumen kita olah menjadi dekomposer. Setelah menjadi dekomposer produk turunannya bermacam-macam, bisa untuk POC dan juga bisa pestisida nabati sebagai pengendali penyakit. Ini menjawab tantangan saat ini pupuk dan pestisida mahal," ujar penyuluh pertanian itu menjelaskan.
Masih menurutnya, "biasanya petani membeli sarana produksi, biasanya 1 liter dengan harga Rp. 60 ribu. Ini terbalik dengan Gentho Si Tama itu. Uang Rp. 60 ribu bisa membuat sarana produksi sebanyak 100 liter. Kemudian dengan produksi sendiri harapannya keberadaan pupuk organik di petani sangat melimpah. Dengan begitu kesuburan tanah dapat meningkat, ketahanan pangan terjaga serta dapat menuju pada tataran pangan sehat," lanjutnya.
Menurutnya Hernawan ada perubahan yang dirasakan petani setelah menerapkan inovasi ini. Yang pertama bisa menekan biaya produksi karena produksi pupuk dan pestisida sendiri dengan biaya murah. Kemudian harga hasil produksi juga meningkat, nilai tawarnya lebih tinggi karena dianggap lebih sehat. "Harga gabah yang biasanya dibawah Rp. 5 ribu/ kg dengan hasil yang dianggap lebih sehat petani tidak mau melepas bila harga kurang dari Rp. 5 ribu," tutupnya. (Prokopim Trenggalek)