Menjadi wakil dari APKASI dalam rapat Disemasi Badan Urusan Lesgislasi Daerah Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (BULD DPD RI), Rabu (11/9/2024) Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin selaku Waketum APKASI sampaikan banyak curhatan cerdas yang dirasakan oleh banyak kepala daerah.
Sesuai Undang-undang nomor 13 tahun 2019 tentang MD3 BLUD DPD RI mempunyai kewenangan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap terhadap rancangan peraturan daerah (ranperda) dan peraturan daerah (perda). Atas kewenangan tersebut BLUD DPD RI menggelar Disemasi atas hasil pemantauan dan dan evaluasi ranperda dan perda terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2024.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) merupakan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebagai manifestasi dari hubungan keuangan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Diudangkannya Undang Undang no 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) ditujukan untuk membuat desentralisasi fiskal untuk pemerataan layanan, kesetaraan. Sekaligus menjawab beberapa ketimpangan vertikal dan horizontal. Namun lahirnya peraturan ini masih menyisakan permasalahan ketimpangan.
Bupati Trenggalek sebagai wakil APKASI mencoba menyapaikan keluh-kesah dari para kepala daerah atas diterapkannya undang undang tersebut. Bukan atas semangat kemunduran, curhatan Bupati Trenggalek, Mochamad Nur Arifin ini lebih kepada semangat menyempurnakan undang undang ini agar selaras dan tidak memberatkan daerah.
Pada awal paparannya, bupati muda itu mengapresiasi dan mendukung upaya BULD DPD RI dalam upaya melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah (ranperda) dan peraturan daerah (perda). Waketum APKASI ini juga menyambut baik Diudangkannya Undang Undang no 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), karena menurutnya banyak ruang fiskal yang bisa menjadi sumber pendapatan pemerintah daerah.
Namun ada beberapa isu yang perlunya oleh Bupati Trenggalek ini untuk dipertimbangkan lagi. Diantaranya isu terkait dengan penghapusan biaya balik nama dan pengurangan pajak progresif yang sebelumnya 10% menjadi 6% diharapkan oleh Mas Ipin untuk memaksimalkan keakuratan data dan penerapan option pajak. Bagi Provinsi ini pengurangan pendapatan yang begitu luar biasa.
"Pertama kami mendukung penghapusan biaya balik nama. Kalau pesannya untuk keakuratan data wajib pajak itu. Karena pusat-pusat kota aglomerasi pendapatannya akan semakin tinggi," kata Mas Ipin.
Masih menurutnya, kalau disimulasikan kabupaten dapatnya lebih sedikit. Diharapkan olehnya kalau niatnya pemerataan maka yang tinggi untuk tidak didorong semakin tinggi, tapi daerah-daerah perlu didorong sehingga pemerataan benar-benar dirasakan.
Karena bagi masyarakat di daerah kebanyakan lebih memilih membeli mobil bekas. Dan bagi masyarakat menengah ke bawah, ganti nama itu tidak soal karena dianggap semakin ribet. "Ini dianggap nambah nambahin biaya, yang penting pajaknya saya bayar," katanya.
Dibeberkan juga olehnya, kalau orang Trenggalek membeli mobil bekas dari Surabaya maka otomatis pajaknya akan masuk ke Surabaya. Kemudian juga ada perlakuan juga bagi masyarakat menengah kebawah takut dikenakan pajak progresif juga sehingga kendaraan ini dinamai dengan nama-nama orang lain.
Hal ini menurut Mochamad Arifin bila memang tidak ada insentif biaya balik nama digratiskan dan biaya pajak progresif diturunkan maka selamanya data penduduk dan data mobil tidak akan sinkron. "Penduduknya Trenggalek tapi kendaraannya luar kota. Apalagi kita belinya bekas semua, yang penting bisa ganti-ganti setiap saat,"imbuhnya.
Kembali menurut Mas Ipin penerapan UU HKPD bagi kabupaten non aglomerasi menurutnya terdapat beberapa konsekuensi yang memberatkan. Mungkin ada beberapa sumber yang bisa menjadi PAD namun juga ada konsekwensi pembiayaan bersama seperti bagi hasil kepada desa.
Kalau ada opsi bagi hasil ke desa, menurut Mas Ipin, Kota Surabaya yang anggarannya besar tidak punya desa. Semuanya kelurahan, tentunya akan sangat mudah bagi-bagi hasil ke kelurahan. Sedangkan untuk kabupaten bila juga dibebani bagi hasil ke desa maka akan terasa sangat memberatkan.
Dalam rapat ini Bupati Trenggalek sebagai wakil APKASi menawarkan 3 opsi. Pertama polanya dikembalikan seperti dahulu di Provinsi. Namun bila diterapkan, maka dalam opsi ini akan ada pertanyaan kok semangatnya mundur.
Pola kedua opsinya tetap diterapkan tapi pemerintah daerah tidak dibebani Cost Sharing dan bagi hasil ke desa. Kemudian opsi ke 3 memainkan prosentase dimana ada yang sebagian diakui sebagai PAD di daerah Pemerintah Kabupaten dan ada yang diakui nanti sebagai pendapatan provinsi untuk kemudian bisa menjadi skema lagi bagi hasil provinsi kepada daerah dan kabupaten.
Sebagai wakil dari APKASI, Mas Ipin juga menyinggung mengenai Intensifikasi. Dimana didalam intensifikasi ini banyak muncul elemen elemen baru seperti air permukaan, pajak air permukaan dan segala macam. Dirinya yang berada di daerah sebagai kepala daerah atau politisi, berharap ada sumber pendapatan yang tidak membebani masyarakat.
Alasannya karena daerah seperti yang dipimpinnya itu akan terasa semakin sulit bilamana misalnya investasi mau masuk tapi sudah dibebankan retribusi-retribusi yang memberatkan. Dilema karena disatu sisi ada sumber pendapatan retribusi namun di sisi lain butuh sumber pendapatan dari investasi.
Dari situ Bupati Trenggalek mengusulkan untuk tidak ada lagi upaya dengan dalih perampingan dan penghematan mengecilkan badan dan organisasi yang ada. Wajib hukumnya menurutnya di setiap daerah punya badan pendapatan. Karena yang ada saat ini dengan dalih penghematan, dinas pendapatan ini gabung dengan bagian keuangan dan sebagainya.
Menurutnya ini penting karena Kementrian Keuangan melalui Dirjen Pajak atau sebagainya bisa memberikan pendidikan dan juga lebih memudahkan sinkronisasi. Dengan begitu perangkatnya bisa lebih kuat, bila itu cita-citanya optimalisasi pendapatan.
Disinggung juga oleh Mas Ipin belum adanya skema transfer dana pusat berbasis ekologi. Ini disampaikan olehnya karena rata-rata daerah yang punya fiskal kuat itu daerah yang identik daerah manufaktur, daerah dagang dan jasa atau daerah transit. Maupun daerah yang bisa meleverage pendapatan dari sisi pariwisata dan mereka yang mempunyai pendapat dari hasil alam atau ekploitasi hasil buminya. Baik itu yang ada di dalam atau diluar bumi, artinya entah itu tambang, sawit atau yang lain.
Menurut Mas ipin untuk daerah yang tidak punya itu semua perlu juga diperhatikan. Pasalnya tidak semua daerah dilalui jalur manufaktur. Kemudian tidak semua daerah mempunyai akses jalur transportasi yang kemudian memudahkan mereka untuk menjadi daerah wisata. Tetapi ada daerah yang katanya penting karena cita cita bangsa ini yang mau menuju Net Zero Karbon 2060. Tapi tidak pernah ada insentif kepada masyarakat yang menjaga hutannya. "Kenapa yang daerah merusak hutannya dengan tambang justru mendapatkan bagi hasil. Sedangkan kita yang jaga itu malah tidak mendapat apa-apa," tanya Mas Ipin.
Kalau seperti itu lama lama bagi yang masyarakat yang getol menjaga ini akan melakukan yang sama. "Ya sudah saya tebangin saja hutannya, tapi ini dimarahi nanti. Fungsi ekonomi dan ekologi ini tidak bisa dibiarkan menjadi trade off. Harus dicari bagaimana ekonomi itu lestari, orang semanat jaga hutannya, maka skema transfer pusat untuk insentif menjaga ekologi ini perlu didorong dalam HKPD," tegas bupati muda itu.
Usualan saya, sambungnya menambahkan "sesuai dengan kepadatan penduduknya. Suatu daerah yang punya kepadatan penduduk dengan memiliki kawasan hutan tertentu perlu diapresiasi. Kalau kawasan padat yang kemudian terdesak hutannya tidak di dorong maka akan habis hutannya nanti," imbuh kepaladaerah di Selatan, Barat Daya Jatim itu.
Bila terus di pressure, kami tidak punya kemampuan untuk memanfaatkan aset kami, maka bisa bisa daerah memanfaatkan lahan hutan ini untuk kepentingan lain demi berdampak ekonomi tapi mengabaiakan damapak ekologi yang ditimbulkan. "Dari segala akses pendapatan tolong dipikirkan ada transfer insentif berbasis menjaga ekologi," katanya.
Kemudian juga menyinggung mengenai dana abadi daerah bagi daerah mandiri fiskal. Padahal menurutnya daerah yang tidak mandiri fiskal inilah yang membutuhkan , karena mereka butuh untuk membiayai pendidikan masyakatnya, menangani kemiskinan dan yang lainnya. Dicontohkan oleh Mas Ipin dan jajarannya di Trenggalek. Bersama dengan BAZNAS di Trenggalek dapat melakukan berbagai upaya penanganan kemikinan. Membiayai jaminan kesehatan masyarakat yang tidak tercover program dari Kementerian Sosial.
Terakhir Bupati Trenggalek itu menyinggung mengenai pembiayaan PPPK yang diharapkan olehnya tidak menjadi belanja pegawai melainkan belanja jasa. Karena menurutnya yang dibayar dari PPPK adalah jasanya. Dimana itu nanti ada PPPK penuh waktu dan PPPK paruh waktu.
Undang-undangm ngamanahkan kepada pemerintah mengentaskan seluruh tenaga honorer di akhir 2024, namun di sisi lain pemerintah daerah dihadapkan dengan peraturan dimana belanja pegawai itu tidak boleh melebihi 30% dari total APBD. Bila gaji PPPK masuk dalam belanja pegawai maka sampai kapanpun pemerintah daerah akan menjaga belanja pegawai tidak lebih 30% apalagi menlaksanakan belaja modal 50%.
Kurang lebih ada 15 menit Bupati Trenggalek menyampaikan paparannya. Lebih waktu 10 menit dari 5 menit waktu yang diberikan. Hal ini dianggap tidak masalah bagi pimpinan sidang, karena menurutnya apa yang disampaikan Bupati Trenggalek cerdas danmenarik. Bahkan disampaikan olehnya bila semua kepala daerah secerdas Bupati Trenggalek ini, maka bangsa ini akan luar biasa. (Prokopim TGX)