Universitas Gajah Mada (UGM) memperingatkan seluruh elemen masyarakat Trenggalek, bahwasannya sebagian besar wilayah Trenggalek rawan longsor dan tanah gerak. Hal ini berdasarkan kajian akademis yang telah dilakukan sebelumnya.
Menurut Dr. Wahyu Wilopo, S.T, M.Eng, ahli geologi UGM "berdasarkan kelas geologi, struktur tanah maupun kelerengan lereng, secara garis besar wilayah Trenggalek merupakan daerah yang rawan pergerakan tanah. Potensi terjadinya pergerakan tanah hampir mencapai 70%," ungkapnya.
Meskipun mencapai angka 70%, bukan berarti masyarakat Trenggalek tidak bisa tinggal bermukim di kelerengan, melainkan diharapkan warga masyarakat lebih berhati-hati dan bijak dalam berdampingan dengan alam yang dihuni.
Upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir longsor atau tanah gerak ini dengan membuat sistem drainase yang bagus, agar air tidak jenuh mengendap membebani lereng. Yang lainnya dengan program vegetasi. Program ini selain bisa mencegah terjadinya longsor juga bisa menambah perekonomian masyarakat. Namun kita harus hati-hati memilih tanaman-tanaman atau bibit-bibit yang akarnya itu tunggang, yang berfungsi mengikat tanah. Kalau disini itu perbedaan musim hujan dan musim kemarau itu cukup tinggi.
Sedangkan Ahli UGM lainnya, Teuku Faisal Fathani, PhD, menambahkan "mitigasi bencana tanah gerak di Trenggalek kita harus kenali apa penyebab longsor ini. Longsor ini bisa diakibatkan karena hujan, gempa atau mungkin juga karena rekayasa lereng yang tidak sesuai dengan peruntukannya, misalnya potongan lereng yang terlalu curam, beban yang terlalu berat diatas lereng atau penyebab lainnya," ungkap Ketua Gama Inatek.
Selain kita harus tahu penyebabnya kita juga harus tahu tanda-tandanya. Tanda-tandanya misalnya ada retakan yang sudah memanjang, air yang keluar atau mata air yang mulai keruh, serta tanah gembur sudah mulai jatuh dan tanda-tanda yang lainnya, ini merupakan tanda-tanda daerah rawan longsor.
"Pertanyaannya adalah apakah kita bisa tinggal dilereng rawan longsor, jawabannya boleh namun ada syaratnya, kalau tidak dipenuhi syarat tersebut jadi tidak boleh," tutur Faisal.
Dijelaskan olehnya, "syaratnya adalah kita harus melakukan mitigasi dilereng tersebut. Misalnya bila ada mata air yang tidak terkendali, paling tidak kita harus membuat drainase dengan tata kelola yang baik, agar air bisa segera keluar dari lereng rawan tersebut."
"Selain itu juga lerengnya kita perbaiki, jangan sampai tanah gemburnya dibiarkan begitu saja, kita buat bangku atau teras iring. Misalnya tinggi lereng H itu 6 meter jangan sampai setengahnya dibebani dengan beban yang berat-berat diatas sana. Jadi 3 meter harus dibebaskan dari beban yang berat-berat seperti rumah yang dibangun pas ditepi lereng dan yang lain sebagainya."
"Kita boleh tinggal dilereng yang rawan asalkan kita berbuat sesuatu disana, sehingga itu disebut Pak Bupati sebagai tindakan yang prefentive bukannya reaktif, artinya begitu ada pergerakan, tanahnya mulai bergerak, rumahnya mulai rusak, atau baru ada korban jiwa kita bereaksi. Kita bersama BPBD berusaha merubah paradigma ini, dari yang tadinya reaktif menjadi prefentive," tandasnya.
Kalaksa BPBD, Joko Rusianto berharap dengan adanya kajian BPBD ini diharapkan mitigasi bencana yang akan dilakukan kedepan bisa jelas. Langkah konkrit yang akan dilakukan BPBD salah satunya kita nanti akan membuat kalender bencana yang akan menjelaskan kemungkinan kondisi-kondisi yang terjadi pada setiap bulan berjalan, sehingga seluruh elemen masyarakat Trenggalek bisa siap siaga dan tanggap bencana.”(Humas)