Budaya, adat dan tradisi bersih desa Dam Bagong selalu dilestarikan oleh masyarakat Trenggalek khususnya Kelurahan Ngantru. Bersih desa yang diselenggarakan pada hari Jum'at Kliwon 02 September 2016 bulan Selo penanggalan jawa ini dihadiri Dr. Emil Elestiato Dardak, M.Sc, Bupati Trenggalek beserta istrinya Arumi Bachcin. Tak hanya Bupati saja, nampak terlihat Wakil Bupati H. Moch. Nur Arifin beserta istri serta Forkopimda dan beberapa kepala SKPD. Bersih desa Dam Bagong ini di lestarikan oleh masyarakat Trenggalek sebagai wujud penghormatan terhadap jasa Ki Ageng Menaksopal, yang sangat berjasa dalam pembuatan Dam Bagong. Dam bagong ini mempunyai fungsi sangat luar biasa dalam pengairan persawahan mulai dari kelurahan Ngantru, Surondakan, Sumbergedong, Tamanan, Sambirejo, Ngadirenggo, Pogalan dan masih banyak areal sawah di beberapa desa lainnya. Hikayah yang berkembang dan diyakini oleh masyarakat kala itu ada putri jaman Kerajaan Majapahit yang bernama Rara Amiswati, karena memiliki penyakit bau amis atau anyir diungsikan ke Trenggalek dan dirawat oleh Mbah Nggalek, sesepuh yang ada di Trenggalek.
Singkat cerita kala itu Mbah Galek membuat sayembara, siapa-siapa yang bisa menyembuhkan penyakit Rara Amiswati ini akan diangkat menjadi menantu dan dinikahkan dengan Rara Amiswati ini. Sayembara ini didengar oleh Menak Srabah buaya putih penjaga kedung Mbagongan Ngantru. Buaya putih ini ada yang meyakini Menak Srabah ini memang buaya putih dan ada yang yang mengilhami buaya putih ini hanyalah simbol perubahan peradapan dari Hindu, Budha ke Islam. Buaya putih berasal dari kata bahaya putih yaitu Islam. Sedangkan menak itu merupakan gelar bangsawan Islam pada waktu itu, seperti halnya Menak Jinggo maupun beberapa tokoh lainnya. Karena bisa menyembuhkan Amiswati akhirnya keduanya dinikahkan oleh Mbah Galek.
Rara Amis Wati akhirnya mengandung seorang anak dari Menak Srabah. Saat mengandung inilah beberapa pantangan diberikan kepada Amiswati oleh suaminya. Namun karena lupa, pantangan yang diberikan diterjang. Menak Srabah kembali pada wujud buaya putih, dan kembali kekedung mbagong. Ada yang meyakini kembalinya Menak srabah karena diketahui Menak Drabah itu beragama Islam, padahal Rara Amiswati adalah putri dari kerajaan Hindu Budha, dari pada terjadi keributan Menak Srabah mengalah pergi ke tampat awalnya kedung Mbagongan. Setelah sembilan bulan lahirlah Menak Sopal ke dunia. Menak Sopal menanyakan bapaknya kepada ibunya, berterus teranglah Rara Amiswati menceritakan siapa bapak Menak Sopal. Ingin mengetahui bapaknya menyusullah Menak Sopal ke kedung Mbagongan untuk bertemu ayahnya.
Cerita selanjutnya untuk mengatasi banjir dan memakmurkan masyarakat Trenggalek kala itu Menak Sopal bercita-cita membangun Dam atau Bendungan. Namun cita citanya ini selalu tidak berhasil. Untuk bisa terwujud bersemedilah menaksopal di lokasi dam ini. Menaksopal mendapatkan wangsit, untuk bisa membangun bendungan ini dirinya haruslah menyediakan tumbal kepala gajah putih, yang diyakini simbul agama Hindu Budha. Sampai saat ini tradisi ini diperingati dan dilakukan yaitu nyadran atau sembelih kerbau bagi kelompok petani yang dialiri sungai ini, dan kepalanya dibuang ke Dam ini dan diperebutkan masyarakat. Konon katanya kalau tradisi ini tidak dilakukan akan terjadi banjir bandang di Trenggalek. Lanjutan cerita Menaksopal meminjam Gajah putih ke Mbok Rondo Krandon yang merupakan bangsawan Hindu pada waktu itu. Mbok Rondo Krandon memperbolehkan gajahnya dipinjam asalkan segera dikembalikan lagi. Untuk bisa meminjam Menak Sopal menyanggupi syarat tersebut. Namun kenyataannya Gajah putih ini disembelih oleh Menak Sopal. Kepalanya dijadikan tumbal pembuatan Dam Bagong, dan dagingnya untuk makan pekerja yang membangun dam ini.
Mbok Rondo Krandon cemas gajahnya tidak kunjung dikembalikan padahal dam sudah selesai dibangun, akhirnya janda krandon itu membawa pasukannya menunggu kedatangan Pahlawan irigasi Trenggalek itu di salah satu perbukitan di dekat Dam Bagong. Mendengar di tunggu Menaksopal ngorong bumi atau menerobos bumi tembus ke Telaga Ngebel Ponorogo, yang diartikan masyarakat Menaksopal melakukan syiar Islam diam diam hingga ke Ponorogo. Pasukan janda krandon kelamaan menunggu kedatangan Menak Sopal sampai tongkat senjatanya lapuk atau berbubuk. Akhirnya gunung itu dinamakan gunung bubuk karena tongkat prajurit itu bubuken. Konon hikayah ini merupakan hikayah masuknya Islam di Trenggalek menggantikan peradapan Hindu Budha.
Dalam sambutannya Bupati Trenggalek, Dr. Emil Elestianto Dardak M.Sc, menyampaikan budaya Nyadran Dam Bagong ini merupakan budaya warisan leluhur yang patut dilestarikan. Wujud mengenang penokohan dan jasa Menaksopal dalam menata irigasi pengairan. (Humas)