Dalam rangka penanganan pengaduan masyarakat, khususnya terkait dugaan tindak korupsi, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menggelar Perjanjian Kerjasama antara Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH) tingkat Kabupaten/Kota di Wilayah Jawa Timur, Selasa (18/9/2018).
Acara yang digelar di Gedung Negara Grahadi Surabaya tersebut dihadiri oleh Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur, Irjen Pol. Drs. Luki Hermawan, M.Si., Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Dr. Sunarta, Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Sri Wahyuningsih, S.H., M.Hum., serta seluruh Bupati/Walikota, Kapolres, Kajari dan Inspektur se-Jawa Timur.
Pada kesmepatan tersebut, Bupati Trenggalek, Dr. Emil Elestianto Dardak, M.Sc., hadir secara langsung dan menandatangani MoU kerjasama dengan Kapolres serta Kajari Trenggalek. Beberapa poin yang disepakati dalam perjanjian kerjasama tersebut antara lain bahwa pengaduan masyarakat tentang indikasi adanya tindak kejahatan tidak serta merta dipidanakan.
Menurut Inspektur Jenderal Kemendagri, Sri Wahyuningsih, S.H., M.Hum., perjanjian tersebut, dapat dijadikan pedoman operasional dalam melakukan koordinasi dalam menangani pengaduan masyarakat yang berindikasi pada tindak kejahatan yang melibatkan pejabat atau ASN. Hal tersebut guna mewujudkan Pemerintahan Daerah yang efektif, efisien dan akuntabel.
“APIP berperan untuk memproses sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dengan harapan kombinasi APIP dan APH agar saling bersinergi dalam mencegah korupsi serta mempercepat proses penegakan hukum guna tercapainya kepastian hukum dan keadilan”, ujar Sri Wahyuni.
Sementara itu, Gubernur Jatim, Dr. H. Soekarwo menyampaikan bahwa dengan adanya perjanjian tersebut, pengaduan masyarakat terkait indikasi korupsi akan disaring terlebih dahulu oleh APIP dan APH, apakah masuk hukum pidana atau administrasi, ini yang harus diluruskan.
“Jika hanya kesalahan administrasi itu tidak akan dilanjutkan ke ranah pidana,” tutur Gubernur Soekarwo.
Hal tersebut, menurut Gubernur Soekarwo, berarti kemungkinan kriminalisasi atas kebijakan yang dibuat sejumlah kepala daerah bisa dihindari.
“Begitu banyak kasus Kepala Daerah atau pejabat pemerintah terkait korupsi mengemuka, para Kepala Daerah menjadi hati-hati, hari-harinya ngerem sampai-sampai remnya kekencangan padahal dalam amanat Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 mengamanatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui APBD dan ini agar dipercepat,” ungkap pria yang akrab disapa Pakdhe tersebut.
“Alhasil, banyak anggaran hingga akhir tahun belanja daerah tidak terserap optimal. Ini kata Soekarwo, menyebabkan program kerja tidak berjalan optimal dan berakibat rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat,” imbuhnya. (Humas)